Industri logistik di era teknologi saat ini memegang peranan penting dalam roda perekonomian suatu negara. Bila sektor logistik suatu negara tidak berjalan maka sektor ekonomi, sosial, dan politik suatu negara juga akan terdampak.
Indonesia saat ini tengah memperbaiki sektor ini dengan fokus utama pada penurunan biaya logistik. Pasalnya, biaya logistik di Indonesia masih tinggi yaitu 23,8 persen menurut Bank Dunia.
Meski begitu, dalam lima tahun terakhir biaya logistik di Indonesia dinilai telah turun 40 persen berdasarkan perhitungan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas.
Sekretaris Kementerian PPN/Sekretaris Utama Bappenas Taufik Hanafi menuturkan berdasarkan perhitungan Bappenas, biaya logistik di Indonesia pada 2023 mencapai 14,1 persen dan biaya logistik untuk kegiatan ekspor malah sudah tinggal 8,98 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara itu, pada 2018, Bank Dunia mencatat, biaya logistik di Indonesia masih 23,8 persen.
Direktur Utama Pelindo Arif Suhartono menyambut baik perhitungan baru yang menghasilkan angka biaya logistik yang sudah jauh lebih rendah dibandingkan dengan posisi pada 2018.
“Sebagai salah satu pelaku utama di sektor logistik, kami sejak Oktober 2021 sudah melakukan transformasi untuk ikut berperan menurunkan biaya logistik lewat penggabungan Pelindo,” ujarnya.
Ia memaparkan setelah merger, Pelindo kemudian membentuk empat subholding atau anak usaha. Empat anak perusahaan itu adalah PT Subholding Pelindo Terminal Peti Kemas (SPTP), PT Subholding Pelindo Multi Terminal (SPMT), PT Subholding Pelindo Jasa Maritim (SPJM), dan PT Subholding Pelindo Solusi Logistik (SPSL). Pembentukan empat anak usaha itu membuat mereka fokus pada masing-masing bidang pelayanan, sehingga kinerjanya meningkat.
“Transformasi di level operasional langsung dilaksanakan anak-anak usaha. Beberapa langkah yang dilakukan antara lain memperpendek waktu sandar atau port stay dan masa tinggal kontainer di terminal atau cargo stay, menyatukan sistem pelayanan dan pembayaran melalui aplikasi online dan digital,” paparnya.
Tujuannya adalah untuk mengefisienkan operasional di pelabuhan, yang pada akhirnya akan menguntungkan Pelindo dan para pengguna jasa kepelabuhan dan terminal. Hasil transformasi tersebut bisa dilihat dari pertumbuhan kinerja operasional.
Arus peti kemas pada 2022 mencapai 17,2 juta TEUS, naik satu persen dibandingkan periode yang sama tahun 2021. Jumlah arus barang yang terealisasi mencapai 160 juta Ton, tumbuh sembilan persen dari tahun sebelumnya. Total arus kapal yang dilayani Pelindo mencapai 1,2 miliar GT, naik satu persen, sedangkan jumlah penumpang tumbuh 86 persen menjadi mencapai 15 juta orang.
Pada ujungnya, proses transformasi melalui efisiensi dan optimalisasi sumber daya, Pelindo berhasil membukukan laba bersih Rp3,9 triliun (audited), naik 23 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kontribusi Pelindo kepada Negara pada 2022 juga meningkat, yakni mencapai Rp7,2 triliun atau lebih tinggi 54 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang baru Rp4,7 triliun.
Kontribusi tersebut dalam bentuk setoran Dividen, Pajak (PPh, PPN dan PBB), Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan Konsesi. Sementara itu, pelaku usaha Direktur Operasi PT Salam Pacific Indonesia Lines (SPIL) Bambang Gunawan juga menilai pelayanan Pelindo kini lebih cepat tanggap dan efisien.
“Meski tak semua pelabuhan mendapat tambahan peralatan, hampir semua pelabuhan besar di Indonesia kinerjanya membaik. “Di Sorong, misalnya, dulu hari Minggu tidak ada yang bekerja, sekarang sejak pagi pun bisa bongkar muat. Ini luar biasa,” tambahnya.
Saat ini SPIL mengoperasikan enam kapal kargo dengan kapasitas antara 1.000-1.500 peti kemas, untuk pelayaran long haul dari Belawan ke Pekanbaru, lalu ke Jakarta, kemudian menyusuri Surabaya, Makassar, Ambon, Sorong dan berakhir di Jayapura.
“Dulu, waktu tempuh biasanya 42 hari, sekarang cukup 36 hari. Dengan begitu, biaya operasi SPIL bisa ditekan jauh lebih rendah,” terangnya.